Sore hari waktu Malang, kira-kira pukul 4 sore lebih sedikit. Saya bersama teman satu kos boncengan naik sepeda motor. Keliling cari warung kopi biar gak “mateng” di kosan aja.
Setelah lama keliling-keliling jalan buat bokong ngapal alias panas, mending berhenti di warung kopi aja biar gak ngapal permanen. Lalu berhentilah kita di warung kopi yang mungkin sudah lama dibangun, tapi polesan cat tembok yang masih bau, berwarna putih dan merah, kemudian sisi dinding kiri kanan berlogo rokok. Kemungkinan perusahaan rokok lagi promosi di warkop ini, maklum warkop ini basis berkumpulnya para roker alias para cadas ngumpul jadi satu di sini. Tau gak lagu cadas?? Itu lho, lagu dengan suara serak-serak, biasanya lagu-lagu tersebut digunakan latihan bagi mereka yang ngga’ bisa ngeluarkan ria’ atau lendir dari kerongkongan mereka. Aliran music ini namanya cadas semi muntah-muntah. “Mbloke’ Song”.
Pesan 2 cangkir kopi, milih tempat yang uenak biar bisa buat jagongan gak buat orang lain terganggu.
Lama-lama kita berbincang tentang pekerjaan, kemudian merembet kepada masalah gaji. Pada akhirnya berujung pada masalah system karyawanisasi yang ada di Indonesia. Konon Indonesia tidak pernah menganut yang namanya outsourcing, baru kali ini ada. Dari perbincangan kita, dengan melihat dari segi keuntungan yang lebih diuntungkan adalah para perusahaan. Mengapa?
Pikirkan aja, yang baca artikel ini mas baru mbak sis asalnya anda dimana, di tempat tinggal kalian ada kampus yang berdiri dan masih aktif mencetak pengangguran bergelar ngga’? kalau ada coba dihitung berapa ribu para lulusan yang menggantungkan dirinya pada sejumlah lembar surat lamaran kepada perusahaan? Dan hanya ada berapa puluh yang diterima oleh perusahaan? Belum lagi CPNS yang masih menunggu pengangkatan para honorer menjadi CPNS.
Bagi saya gila….!!!!! Kenapa ini….
Kita sendiri sebenarnya ga’ menyadari kenapa terjadi hal seperti ini, yang menjadikan para lulusan sarjana ter minded hanya ingin menjadi babu di negaranya. Termasuk juga saya. Jujur mas bru mbak sis.
Di sisi lain pun perusahaan tidak kesulitan untuk mengeluarkan tenaga kerjanya yang tidak professional “dikit”, karena bagi mereka stock lulusan berkarakter babu masih banyak menunggu di luar.
Karena semakin banyaknya lulusan dari universitas, entah swasta ataukah negeri - “semi swasta” barang kali - , telah menyediakan semacam etalase secara implicit kepada perusahaan, “Nie lho… silakan pilih yang mana? Fresh graduate ataukah yang berpengalaman mbabu?”. Etalase-etalase ini sudah ditawarkan kepada perusahaan sebelum mahasiswa ini lulus dari perkuliahan mereka. Para mahasiswa diiming-iming oleh dosennya tentang perusahaan yang memiliki kontrak dengan universitasnya. Memberikan gambaran kepada para mahasiswa “culun” untuk terkesima akan perusahaan ini itu. Akhirnya apa yang terjadi?. Gak sedikit dari mereka masuk perangkap rayuan guombal dari pendidik berpredikat dosen yang berkepentingan untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa mereka sendiri.
Sekalipun prinsip atau tagline ataukah motto “kemandirian” yang selalu dibunyikan pada saat mars kampus mengalun, tetap posisi mahasiswa masih berada pada tingkat babu, karena belum ada yang bisa memberikan cara agar cetakan dari kampus ini dapat memberikan peranan bagi masyarakat setempat atau untuk Indonesia membuka peluang kerja, bukan malah mengisi posisi kosong dari pekerjaan yang tidak semestinya ditempati bagi para sarjana, ex; satpam, hansip, tukang parkir, cleaning service, atau yang lainnya lah yang tidak memerlukan memeras kinerja otak.
Dari situlah saya menulis artikel seperti ini, mencoba mengemukakan hal yang pernah saya alami, dan berusaha berbagi dengan sesame babu untuk berfikir kembali agar dapat memberikan wawasan positif bagi generasi di bawah kita.
Sulit, lama, terlanjur…
Itu mungkin yang ada di dalam benak mas bru mbak sis semuanya. Dan apa yang kita lakukan kali ini tidak ada salahnya, berupaya untuk selalu menjaga diri dan bertekad untuk dapat membuka berbagai lowongan sekalipun hanya dapat memberikan satu atau dua peluang kerja bagi lulusan sarjana.