Rabu, 31 Agustus 2011

I.B.U

Apa itu I.B.U? singkatan dari apa mas bru mbak sis? Ada-ada saja bukan?

Sebenarnya itu bukan singkatan ataupun singkatan yang mengada-ada. Tapi itu sebuah kata, yaitu IBU. Seorang yang telah berjasa membesarkan kita sampai seperti ini. Berusaha memberikan yang terbaik kepada diri kita apapun yang kita minta, meskipun sakit yang dia rasakan dan tidak akan pernah ia beritahukan kepada anaknya. Hanya satu keinginan dirinya, ingin melihat anaknya tersenyum gembira.

Sedihnya kita merupakan sedihnya seorang Ibu, gembiranya kita merupakan gembiranya seorang Ibu. Seorang yang selalu mencari sepeser uang untuk sesuap nasi anaknya. Meskipun ia harus menyusuri sungai yang deraspun, ia lakukan demi anaknya tercinta. Bahkan bila perlu, ia menggadaikan apa yang ia punya dari dirinya, hanya ingin melihat anaknya bisa senang. Itulah Ibu.

Pernahkah kita melihat Ibu bekerja? Pernahkah kita melihat Ibu dicerca karena kesalahan ia ketika bekerja? Pernahkah kita mendengar cacian, makian, hinaan yang diberikan kepada Ibu kita? Pernahkah? Dan apa yang Ibu lakukan?

Ibu kita selalu berusaha memendam kepedihan yang ia rasakan ketika berada di sisi kita. Mereka tidak menginginkan yang namanya rasa sedih menghinggapi kehidupan kita. Menurutnya, belum saatnya kita mengenyam pengalaman yang serba penuh duka.

Memang tidak semua Ibu berperilaku seperti yang saya ceritakan di atas, terkadang ada seorang Ibu yang lari dari tanggung jawabnya, ada seorang Ibu yang tega membunuh belahan jiwanya sendiri, terkadang ada pula Ibu dengan berani-beraninya membunuh anaknya ketika masih di dalam kandungan. Atau bahkan ada yang lebih dahsyat lagi dari ini?

Bisa jadi ketika anak telah beranjak kecil, remaja ataukah dewasa, terkadang seorang Ibu mengeluarkan kata-kata yang tak pantas di dengar oleh anaknya. Memarahi anaknya dengan nada dan kalimat yang sulit untuk dipercaya kalau kata-kata itu keluar dari mulut seorang Ibu. Peringatan dari peribahasa-pun sudah jelas bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jika seorang Ibu seperti ini, kelak anaknya seperti apakah nanti…

Pelajaran disini bukan untuk mengorek kesalahan seorang Ibu, mungkin akan saya ulas sedikit pada bagian yang lain. Untuk kali ini, saya lebih memilih untuk seorang Ibu yang bijak kepada anaknya…

Seorang Ibu tidaklah sama dengan seorang ayah, hak mereka lebih utama daripada seorang ayah. Setelah menunaikan kewajiban kepada Alloh dan Rosul-Nya, langkah berikutnya adalah kepada seorang Ibu, kemudian Ibu kemudian Ibu lalu barulah hak seorang Bapak. Seperti itulah besarnya hak seorang Ibu terhadap anaknya. Mengapa demikian??? Perlu diingat bahwa yang saya ulas kali ini adalah seorang Ibu yang bijak.

Ingatlah ketika ia membawamu kemana-mana, kala itu kamu masih berada di dalam rahimnya. Ingatlah ketika seorang Ibu berusaha untuk memberikan nutrisi untuk janinnya, kelak akan menjadi seorang anak yang sehat. Ingatlah bahwa Ibupun merasakan kelelahan yang dahsyat ketika kita mulai membesar di dalam rahimnya. Ingatlah waktu-waktu Ibu telah banyak tercurah ketika kita masih di dalam rahimnya.

Ketika ia ditakdirkan untuk keluar mengintip warna-warni dunia. Seorang Ibu begitu sakitnya, begitu lelahnya, begitu banyak mengeluarkan darah, waktu, uang untuk kita. Namun sang Ibu tidak merasakan itu semua, karena kegembiraanlah yang ia rasakan. Memberikan rasa kasih sayangnya kepada buah hatinya, memberikan nama yang baik untuk diri kita. Menyusui anaknya.

Kita menangis, Ibu bergegas memberikan apa yang kita inginkan, tak siang tak malam hingga dini haripun seorang Ibu merelakan waktu tidurnya untuk anaknya. Kurang lebih 2 tahun lamanya Ibu memberikan air susunya untuk kehidupan anaknya. Kalau seperti ini, apa yang kurang dari Ibu kita?? Kurang baik apa Ibu kita??

Beranjak besar, ibu semakin besar memberikan semua keinginan anaknya. Memasukkan anaknya untuk mengikuti jenjang pendidikan dari tahun ke tahun. Hingga kita bisa mencapai gelar tinggi, sarjana atau lebihnya lagi Profesor…

Tapi, itu semua ternyata berakhir dengan seorang anak meninggalkan nan jauh dari rumah reot seorang Ibu. Mereka semakin tua, semakin lemah tak ada daya kecuali dengan bantuan anak-anaknya. Ia tidak ingin uang kita, mereka hanya ingin kita tau, bahwa dia adalah Ibu kita. Hanya itu pintanya. Ia sendirian di rumahnya, tanpa ada yang menemaninya kecuali hanya seorang suami yang juga sama-sama tuanya. Mereka berdua yang seharusnya menjadi diri yang merasakan hari tuanya dengan tenang, ternyata mereka berjalan menyisiri trotoar dan aspal yang panas, hanya untuk mencukupi kebutuhan makan mereka berdua. Sang suami yang semakin tua, tetap berusaha memberikan hiburan kepada istrinya yang keriput, agar tidak bersedih hati.

Jauh sekali dari kecukupan, mereka tetap saja masih berharap dengan Alloh agar rizki tetap terlimpahkan untuknya dan untuk anaknya. Ternyata Ibu masih mengingat kita… meskipun di sisi lain kita berbangga-bangga dengan gelar berentet, mencitrakan di hadapan banyak orang, memiliki banyak kolega kerja yang menguntungkan kita. Namun Ibu, berdiam di tempat yang jauh dengan kita masih pula dengan gembiranya terus mendoakan kehidupan kita, saat itu kita lupa dengannya.

Kalau ujian melanda diri kita, kita jatuh terjerembab tidak berdaya menghadapi kehidupan. Kita jatuh miskin tidak memiliki apa-apa lagi. Apa yang kita lakukan??

Kembalilah kita kepada orang tua, dengan membawa duka, membawa kesengsaraan. Mana wahai diri kita!! Kebahagiaan kita yang kita bangga-banggakan kemarin, mana bukti kesuksesan kita yang seharusnya kita berikan kepada Ibu kita?? Seperti inikah kita memberikan rasa sakit kepada hati mereka saat mereka telah renta menghadapi cobaan kita?? Inikah balasannya??

Tapi sang Ibu tetap tersenyum di hadapan kita, meskipun hatinya teriris menangis. Ibu tetap memberikan sisa-sisa kasih sayangnya yang tiada tara kepada kita, anaknya. Ibu, kau sungguh pahlawan bagi hidupku. Itulah jawaban kita. Tapi, cukupkah dengan ungkapan seperti itu meneggembirakan Ibu yang telah kusut pakaiannya?? Meski ia menjawab gembira, terasa dalam hati hina sekali diri kita, karena hanya sebatas bisa memberikan ungkapan.

Ibu saat ini hanya seonggok akar kering yang hanya berdaya memangku diri kita selagi kita susah, tidak dapat berbuat banyak untuk hidup kita ke depan, kecuali hanya memberikan lantunan syair, dongeng masa kecil kita, laguan anak-anak untuk diri kita, membelai rambut kita. Hanya itu…

Kering, kusut, ada airpun tak mau menyerap, karena sudah saatnya sebuah akar ini pergi selama-lamanya…

Itukah kita terhadap Ibu??

Jadikan sekarang ini adalah hari-hari yang selalu mendoakan kebaikannya, mendoakan jasa-jasanya untuk kita, dan kembalilah kepadanya ketika kita memiliki, dan kembalilah kepadanya penuh dengan cinta meskipun saat itu kita sakit, dan jangan tampakkan diri kita di hadapannya sebagai seorang sengsara, karena hati Ibu tidak akan tega merasakan anaknya seperti itu…

Bahagiakanlah dia, seperti harapan kita membahagiakan diri. Banggakanlah dia seperti kita bangga dengan diri. Berlalulah dengan mendoakannya setiap saat, karena doa kepadanya, tanpa ada hijab yang menghalanginya. Alloh-pun telah memberikan jabatan yang begitu tinggi kepada seorang Ibu yang bijak. Kenapa kita sebagai ciptaan-Nya tidak memuliakannya??

Cukup itu dulu ulasan saya tentang seorang Ibu yang baik hatinya. Semoga bermanfaat, dan menjadi bahan renungan untuk kita semua. Amiiin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru Kami

BELAJAR HURUF HIJAIYAH UNTUK SANTRI PRA JILID METODE UMMI DENGAN GAMBAR ; ukuran kertas (40x60) cm

 Semoga bermanfaat, silahkan dikopas sesuai keinginan saudara-saudara semuanya.

Postingan Terdahulu Kami